KEBIJAKAN
PUBLIK
“PROSES
PERUMUSAN KEBIJAKAN”
Latar
Belakang
Proses
perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan kebijakan yang
berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Hal ini penting bagi kita untuk mengetahui dan melaksanakan penyusunan suatu
kebijakan di tempat kerja. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkam dalam
proses perumusan kebijakan. Selain itu, para ahli harus menguasai makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan dan prosedur
perumusan kebijakan, serta faktor-faktor lainnya.
Pembuatan
kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah pemerintahan. Oleh karena
itu, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari
pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting
bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai. Kemampuan dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan
tersebut juga harus diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik
terhadap kewenangan yang dimiliki.
Hal itu terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston bahwa
kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan pemerintahan,
karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda pada setiap
tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, menurut
Gerston hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai
akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya
(Gerston, 2002: 14). Dengan pemahaman yang
seperti itu dapat memastikan pembuatan
kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi yang terkait,
sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara
memadai.
Mengingat
peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap masyarakat, maka
para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat digunakan dalam proses perumusan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pemilihan
terhadap suatu kebijakan tertentu. Teori dan kriteria tersebut dapat ditemukan dalam buku Anderson tahun 2006 yang berjudul Public Policy Making: An Introduction. Menurut Anderson (Anderson, 2006: 122-127), terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses
pembuatan sebuah kebijakan yaitu
a. Teori rasional-komprehensif; adalah
teori yang intinya mengarahkan agar pembuatan sebuah kebijakan publik dilakukan
secara rasional-komprehensif dengan mempelajari permasalahan dan alternatif
kebijakan secara memadai.
b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan terhadap permasalahan
dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi mengenai cara yang dapat
diambil dalam membuat kebijakan.
c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya
menggabungkan antara teori rasional-komprehensif dengan teori inkremental.
Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria
yang harus dipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yaitu: (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu,
kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan
konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6)
aturan kebijakan (Anderson, 2006: 127-137).
Berangkat
dari gambaran kondisi tersebut, tulisan singkat ini berupaya untuk dapat
memberikan pemahaman mengenai proses pembuatan kebijakan dan berbagai
pertimbangan yang meliputinya, khususnya yang terkait dengan tahapan perumusan
kebijakan (policy formulation). Terdapat sejumlah hal yang akan menjadi
fokus pembahasan dari tulisan ini yaitu makna kebijakan dan perumusan kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan, serta
prosedur perumusan kebijakan. Menurut Jann
dan Wegrich (2007: 48), di dalam tahap perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan
proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan kedalam sejumlah program
pemerintah.
Perumusan
kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-pertimbangan
terhadap sejumlah alternatif yang berbeda. Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik
yang berasal dari aktor negara maupun aktor non-negara atau yang disebut sebagai pembuat kebijakan resmi (official
policy-makers) dan peserta non-pemerintahan (non-governmental
participants) (Anderson, 2006: 46-67).
Pembuat
kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat
dalam perumusan kebijakan publik. Mereka terdiri atas legislatif, eksekutif, badan administratif, serta pengadilan. Legislatif merujuk kepada anggota kongres/ dewan yang
seringkali dibantu oleh para staffnya. Eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Administratif menurut merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Di
lain pihak, pengadilan juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan
kebijakan melalui kewenangan mereka untuk me-review kebijakan serta penafsiran
mereka terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan
pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan public (Anderson, 2006: 46-57).
Selain
pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat dalam proses
kebijakan yang meliputi di antaranya kelompok kepentingan; partai politik;
organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat. Mereka ini disebut sebagai peserta non-pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau
dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang
mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi;
memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006: 57-67). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka
siapkan.
Terkait
keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam tahapan
perumusan kebijakan, maka tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan
peserta yang lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam
tahapan ini yang lebih banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan
alternatif kebijakan yang mengambil tempat diluar mata/ perhatian publik (Sidney, 2007: 79). Dalam sejumlah teks standar kebijakan, tahap perumusan disebut sebagai
sebuah fungsi ruang belakang. Detail dari kebijakan biasanya dirumuskan oleh
staff dari birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta komisi khusus. Proses
perumusan ini biasanya dilakukan di ruang kerja dari para aktor perumus
tersebut.
Proses Perumusan Kebijakan
Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses
kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh
pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan pengaruh langsung yang dapat
dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan
mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara berbagai kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Tahap
perumusan kebijakan melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut
seperangkat alternatif kebijakan untuk mengatasi sebuah permasalahan serta
mempersempit seperangkat solusi tersebut sebagai persiapan dalam penentuan
kebijakan akhir (Sidney, 2007: 79).
Dengan
mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999), menurut Sidney (2007: 79) perumusan kebijakan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu: apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa yang menjadi tujuan dan
prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut? Apa saja
keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksternalitas apa, baik positif
maupun negatif yang terkait dengan setiap alternatif?
Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi
terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian
mengidentifikasi dan mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang
dapat mewakili setiap pendekatan (Sidney, 2007: 79). Tahap perumusan juga melibatkan proses penyusunan draft peraturan
untuk setiap alternatif yang isinya
mendeskripsikan mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, serta mengartikulasikan
kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki
dampak, dan
lain-lain. Pernyataan
itu juga didukung oleh pernyataan
Jann dan Wegrich serta Anderson. Menurut Jann dan Wegrich (2007: 48), di dalam tahap perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan
proposal, dan tuntutan masyarakat ditransformasikan ke dalam sejumlah program
pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi
definisi sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-pertimbangan
terhadap sejumlah alternatif yang berbeda.
Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang
terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal, atau pilihan) untuk menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan
menurut Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai
sebuah produk peraturan perundang-undangan (Anderson, 200: 103-109). Namun, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan
untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini. Terkait
permasalahan itu, terdapat sejumlah kriteria
yang membantu dalam menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk
dijadikan sebuah kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan secara politis,
biaya, manfaat, dan lain sebagainya (Sidney, 2007: 79).
Jann dan
Wegrich mengemukakan dua faktor utama yang menentukan alternatif kebijakan akan
diadopsi menjadi kebijakan, yaitu (Jann, 2007: 50):
a. Penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah parameter
susbtansial dasar, misalnya
kelangkaan sumberdaya untuk dapat melaksanakan alternatif kebijakan. Sumberdaya
ini dapat berupa sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik yang didapat dalam
proses pembuatan kebijakan.
b. Alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan peranan
penting dalam penentuan kebijakan.
Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai penasehat kebijakan atau pemikir (think tanks). Pengetahun
dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan
(Jann, 2007: 51).
Perumus kebijakan perlu mempertimbangkan sejumlah hal yang dapat
meningkatkan peluang berhasilnya proposal kebijakan yang dirumuskannya.
No comments:
Post a Comment