BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seorang
filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang bermil-mil
jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Langkah manusia yang disebut filsuf
itu tak lain adalah antropologi. Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu?
Beberapa atau bahkan banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa
orang mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat melalui
berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa orang lagi
bahkan mungkin sudah pernah membaca literature-literature atau tulisan-tulisan
tentang Antropologi.
Banyak
orang berpikir bahwa para ahli Antropologi adalah ilmuwan yang hanya tertarik
pada peninggalan-peninggalan masa lalu; Antroplogi bekerja menggali sisa-sisa
kehidupan masa lalu untuk mendapatkan pecahan guci-guci tua, peralatan
–peralatan dari batu dan kemudian mencoba memberi arti dari apa yang
ditemukannya itu. Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori
Evolusi dan mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari
kemunculan dan perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang mempunyai pandangan
yang sangat keras terhadap penciptaan manusia dari sudut agama kemudian
melindungi bahkan melarang anak-anak mereka dari Antroplogi dan
doktrin-doktrinnya. Bahkan masih banyak orang awam yang berpikir kalau
Antropologi itu bekerja atau meneliti orang-orang yang aneh dan eksotis yang
tinggal di daerah-daerah yang jauh dimana mereka masih menjalankan
kebiasaan-kebiasaan yang bagi masyarakat umum adalah asing.
Semua
pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada benarnya,
tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui
bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang hanya meraba bagian-bagian
tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang bentuk gajah itupun menjadi
bermacam-macam, terjadi juga pada Antropologi. Pandangan yang berdasarkan
informasi yang sepotong-sepotong ini mengakibatkan kekurang pahaman masyarakat
awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu. Antropologi memang tertarik pada
masa lampau. Mereka ingin tahu tentang asal-mula manusia dan perkembangannya,
dan mereka juga mempelajari masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (sering
disebut dengan primitif). Tetapi sekarang Antropologi juga mempelajari
tingkah-laku manusia di tempat-tempat umum seperti di restaurant, rumah-sakit
dan di tempat-tempat bisnis modern lainnya. Mereka juga tertarik dengan
bentuk-bentuk pemerintahan atau negara modern yang ada sekarang ini sama tertariknya
ketika mereka mempelajari bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang
terjadi pada masa lampau atau masih terjadi pada masyarakat-masyarakat di
daerah yang terpencil.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Antropologi
Seperti
halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan
ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut :
1.
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar
abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi
dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam
penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak
menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan
penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan.
Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing
tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau
bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing
tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang
bangsa-bangsa.
Bahan
etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada
permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku
luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul
usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
2.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada
fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi
karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu.
masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka
waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai
bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa
yang tinggi kebudayaannya Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka
mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh
pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
3.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada
fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain
seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni
tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli,
pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta
hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa
berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk
itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa
di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan
pemerintah kolonial.
4.
Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada
fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku
bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh
kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di
Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan
manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran
total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan
kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga, muncul semangat
nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu
penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak
masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah
menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses
perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan
kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di
daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp. Dalam
kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia yang pernah hidup
pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka bumi ini. Mahluk manusia ini
hanyalah satu dari sekian banyak bentuk mahluk hidup yang ada di bumi ini yang
diperkirakan muncul lebih dari 4 milyar tahun yang lalu.
Antropologi
bukanlah satu satunya ilmu yang mempelajari manusia. Ilmu-ilmu lain seperti
ilmu Politik yang mempelajari kehidupan politik manusia, ilmu Ekonomi yang
mempelajari ekonomi manusia atau ilmu Fisiologi yang mempelajari tubuh manusia
dan masih banyak lagi ilmuilmu lain, juga mempelajari manusia. Tetapi ilmu-ilmu
ini tidak mempelajari atau melihat manusia secara menyeluruh atau dalam ilmu
Antropologi disebut dengan Holistik, seperti yang dilakukan oleh Antropologi.
Antropologi berusaha untuk melihat segala aspek dari diri mahluk manusia pada
semua waktu dan di semua tempat, seperti: Apa yang secara umum dimiliki oleh
semua manusia? Dalam hal apa saja mereka itu berbeda? Mengapa mereka bertingkah-laku
seperti itu? Ini semua adalah beberapa contoh pertanyaan mendasar
B.
Antropologi Sosial-Budaya
Antropologi
Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan
apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku
manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok.
Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati
dengan mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia,
tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan
adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya
disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan
cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan
alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli
Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok
manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang
menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya.
Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam
bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian
yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk
hukum pada kelompok-kelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang
mempelajari gejala-gejala serta bentuk-bentuk perekonomian pada
kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk
spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.
Kebudayaan
yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak
diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu
ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan
dengan perilaku mahluk lain yang tingkah-lakunya digerakan oleh insting. Ketika
baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan
olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam
kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan
makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan.
Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara
memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi
kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia melakukan
kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang
berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya
saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut
perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu
untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat
dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia
makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus dimana
makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau
mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan
disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya.
Sebaliknya
kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut yang
dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka
mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat
sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah
diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti
ini diwarisi secara genetis.
C.
Pengaruh Budaya Dalam Perkembangan Antropologi
Agar
dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu
harus dimiliki bersama oleh
suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat
suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama
sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui
proses belajar.
Suatu
kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan
cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para
warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam
Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang
memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.
Dalam
setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya
yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya
pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat
hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai
kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah
yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak
semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka
patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga
masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada
masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan
kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya
berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah
dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat.
BAB III
KERANGKA TEORI
A.
Pengertian Antropologi
Antropologi
berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang
berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial, jadi antropologi adalah salah satu cabang ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis
tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa
yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa
fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat
tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama,
antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik
beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Menurut
William A. Haviland, antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Sedangkan David Hunter memberikan pendapatnya bahwa antropologi adalah ilmu
yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Selanjutnya Koentjaraningrat menyatakan antropologi adalah ilmu yang
mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk
fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Dari definisi tersebut,
dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang
mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara
berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap
manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
B.
Pengertian Budaya
Kebudayaan
didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial
yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan
pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian,
kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk,
rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian
model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara
selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku
dan tindakan-tindakannya. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi
pedoman bagi tingkah lakunya.
Sebagai
pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia
dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia).
Sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai-nilai,
norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan suatu tindakan
dalam menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam, serta berisi
serangkaian konsep-konsep dan model-model pengetahuan mengenai berbagai
tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh pendukungnya dalam
menghadapi suatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam. Jadi nilai-nilai
tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan lingkungan yang
dihadapi oleh pendukungnya.
Dari
beberapa sisi, kebudayaan dapat dipandang sebagai: (1) Pengetahuan yang
diyakini kebenarannya oleh masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut; (2)
Kebudayaan adalah milik masyarakat manusia, bukan daerah atau tempat yang
mempunyai kebudayaan tetapi manusialah yang mempunyai kebudayaan; (3) Sebagai
pengetahuan yang diyakini kebenarannya, kebudayaan adalah pedoman menyeluruh
yang mendalam dan mendasar bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan; (4)
Sebagai pedoman bagi kehidupan, kebudayaan dibedakan dari kelakuan dan hasil
kelakuan; karena kelakuan itu terwujud dengan mengacu atau berpedoman pada
kebudayaan yang dipunyai oleh pelaku yang bersangkutan.
Kata
Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi.
Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan
istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis juga memakai istilah ini atau
diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen
untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah
tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang
sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh
Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi
mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli
Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan
ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi.
Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama
diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu
definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton
yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan
dalam kehidupan sehari-hari: “Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari
masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap
lebih tinggi dan lebih diinginkan”.
Jadi,
kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk
tertentu.
Seperti
semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan dengan beberapa aspek
“di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan. Konsep-konsep
kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya sehingga
ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam
penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan
mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak
mempunyai kesamaan-kesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam
membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah
kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya hari
demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap
jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara
kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja
terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah
terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti
perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus
menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi
tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku manusia sangat fleksibel.
Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia untuk belajar
dari pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar
karena mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari
manusia sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah
kemampuannya untuk beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.
DAFTAR PUSTAKA
·
Green, E.C 1986 Practicing Development
Anthropology. Boulder and London: Westview
·
Leonard Seregar. 2002. Antorpologi dan
Konsep Kebudayaan. Universitas Cendrawasih Press. Jayapura.
·
Masinambow, E.K.M (Ed) 1997
Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Jakarta: Asosiasi Antropologi
Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.
·
Rhoades, R.E 1986 Breaking New Ground:
Agricultural Anthropology. Dalam: Green Ed.
·
Suparlan, Pasurdi 1995 Antropologi dalam
Pembangunan. Jakarta: UI Press
No comments:
Post a Comment